Blora sebagai salah satu Kabupaten di Indonesia begitu lekat dengan sosok fenomenal Ki Samin Surosentiko. Bahkan, setiap seseorang diperantauan mengaku berasal dari Blora, tak jarang yang bersangkutan selalu dikaitkan dengan sosok ‘Samin’. Tentu saja tidak mengecilkan peranan dan ketenaran sastrawan, sekaligus budayawan Pramoedya Ananta Toer tokoh asal Blora lainnya. Ya, Samin Surosentiko telah menjadi icon Kabupaten ‘Mustika’ ini. Barangkali kenyataan itu seolah menjadi pembenar atas ungkapan klasik yang mengatakan ‘bahwa setiap zaman mempunyai penanda dan nalarnya sendiri’. Kabupaten Blora setidaknya telah membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Lebih-lebih, jika masing-masing nilai dari kebaikan penanda, dan nalar anak zamannya tersebut dapat digali, dan dipedomani tentunya akan menjadi pelita bagi kehidupan anak cucu.
Apalagi belakangan ini, masyarakat di akar rumput (grass root) sulit menemukan figur yang dapat diteladani (uswatun hasanah). Mengapa demikian? Sebab, para pemimpin —eksekutif, yudikatif, legislatif— kaum intelektual, budayawan, dan agamawan ‘sulit’ memantulkan marwah ‘kebaikan’. Tidak sedikit dari mereka telah terjebak, bahkan terkooptasi pada ‘politik praktis’, dan politik oportunis sektarian an-sich. Parahnya lagi, mereka sering kali mempertontonkan gaya koboi ‘ala preman’ di hadapan publik. Ya, bertengkar, mengejek, dan saling merendahkan satu sama lainnya. Praktis, masyarakat kecil pun menjadi bingung, terombang-ambing, tanpa arah, dan pegangan. Tak heran, sekarang ini akal sehat, nyaris ditinggalkan banyak orang. Zaman seolah telah menjadi edan. Laiknya perkiraan bujangga R. Ng. Ronggowarsito dalam Serat Kalatido yang mengatakan: “…amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.” Arti bebasnya: menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai,akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Adalah sebuah kelaziman, jika masyarakat pun mencontoh praktik-praktik buruk (asusila) dari para pemimpinnya tersebut. Sebut saja, aksi perkelahian antar kampung di Rawa, Johar, Baru, Jakarta Pusat (Minggu, 26 Juli 2015 – 19:08 WIB); di Pasar Gembrong (Selasa, 11 Agustus 2015); di Lenteng Angung (Sabtu, 4 Juli 2015); di Depok (Jumat, 17 April 2015), aksi anarkis berkedok SARA di Kabupaten Tolikara, Papua (Jumat, 17 Juli 2015: 07.00 WITA), dan lain sejenisnya. Baca lebih lanjut.